Aku
Pasti Bisa!
Oleh
: Aisha Khairunnisa
“Ma! Bisa engga nanti ngurus anak
sendirian?” tanya suamiku beberapa hari sebelum beliau pergi menghadap Sang
Khalik,
“Ya, insha Allah! Kan ada Allah!”
jawabku seraya berlinang air mata, padahal hati ini terasa diris-iris, beliau
sepertinya sudah tahu kalau akan segera meninggalkan aku dengan lima permata
hatinya.
***
Kini pertanyaan itu selalu
menggelayuti pikiranku, apakah benar aku bisa? Apakah benar aku mampu? Padahal
pada kenyataanya hidup tanpa suami begitu sulit kurasakan, benar-benar sulit!
Mungkin karena aku terbiasa “dihuapan”
( disuapi ), segala disediakan suami, apa-apa tinggal minta ke suami, begitu
juga dengan kebutuhan anak-anak, tak ada yang tidak dicukupi oleh suami, dari
kebutuhan pangan, sandang dan papan, walaupun kehidupan kami tidaklah mewah
tapi cukup mapan untuk keluarga kami, denga lima anak yang masih kecil-kecil.
Seiring berjalannya waktu, anak-anak
tumbuh dan berkembang, mereka pun butuh asupan gizi dan pakaian yang layak,
belum lagi biaya sekolah, walaupun ada yang gratis namun buku dan alat sekolah
serta seragam tetap harus membeli sendiri. Aku terus berpikir dan berupaya
keras untuk memenuhi kebutuhan mereka, juga kebutuhan pribadiku, aku pikir uang tabungan peninggalan almarhum suami tak
akan cukup untuk biaya hidup selama dua puluh tahun ke depan, mungkin hanya
untuk beberapa tahun saja, padahal dua rumah milik kami di Bandung sudah kami
jual.
Banting setir!
Inilah keputusan akhirku setelah merenung
dan berdo’a memohon petunjuk Allah, aku hanya seorang guru honor di Sekolah Dasar
yang gajinya hanya cukup untuk membeli dua puluh lima kilogram beras seharga delapan ribu rupiah per
kilogramnya, itu pun kalau gajinya tepat waktu, biasanya gaji dibagikan setelah
dana BOS cair, yaitu tiga bulan sekali, aku tak bisa membayangkan jika aku
hanya mengandalkan gajiku dari mengajar, keputusan yang banyak ditentang keluarga
besar, karena aku sudah enam tahun mengabdi dan memiliki NUPTK, namun bagiku
keputusan tetap ada di tanganku, karena akulah yang akan menjalani hidup ini
dengan anak-anak, meskipun peran mereka sebagai keluarga besar sangatlah penting.
Lalu apa yang harus aku lakukan?
Aku
kembali termenung, seraya menghitung sisa uang tabunagn di Bank, ah... akhirnya
Allah membuka pintu rizkinya untukku dan lima yatimku, seorang adik menawarkan
aku untuk menjual beras hasil panen di kampungnya, harganya jauh lebih murah dibandingkan
dengan membeli di pasar dekat rumah, selain itu beras pun masih baru dan wangi,
aku tak perlu capek membawanya ke rumahku, beras diantar sampai rumah, kumulai
dengan menjual beras beberapa kwintal saja, alhamdulilah laku keras karena
kualitas dan harga yang miring.
Namun, hadangan demi hadangan mulai
datang, usaha jualan berasku hampir bangkrut, masalahnya aku belum bisa
mengelola uang dengan baik, aku masih mencampurkan uang modal usaha dan
kebutuhan harian keluarga , sehingga ketika kiriman beras selanjutnya datang,
uang modal sudah habis dipakai unttuk kebutuhan sehari-hari. Hadangan
selanjutnya, ternyata di dekat rumahku ada seorang penjual beras dengan modal
yang lebih besar, dia menjual beras lebih beragam dan lebih murah, otomatis pelangganku
lari semua, apalagi jika Raskin tiba, sangat sepi jualanku!
Lalu, kutata ulang cara berbisnisku,
kutanya pada para ahli di grup IIDB ( Ibu-ibu Doyan Bisnis ) dan kucari peluang
di internet, akupun membaca buku-buku bisnis yang ditulis para ibu hebat di
IIDN ( Ibu-ibu Doyan Nulis ), tulisan mereka memacu adrenalinku, benar-benar
melesat semangatku setelah membacanya, dan akupun mulai bangkit lagi. Kuambil
modal baru untuk melanjutkan bisnis, jendela rumah kubongkar dan disulap menjadi
warung, membuat spanduk, dan merelakan sebuah kamar menjadi gudang, bisnis
beras mulai lancar lagi.
Namun, masih juga ada kendala!
Setelah
kuhitung dalam buku pembukuan sederhanaku, keuntungan dari menjual beras
ternyata hanya sedikit, dari satu kilogram beras hanya seribu rupiah kuambil
itupun maksimal, karena tekadang ada juga yang menawar jika mereka membeli
dalam jumlah besar, belum lagi jika beras mulai berkutu dan apek, otomatis
harga beras harus diturunkan. Aku pun mulai bimbang, seraya memanjatkan do’a
pada sang Pemberi Rizki untuk tetap membimbingku supaya aku tidak tumbang.
Teringat seorang teman muallaf keturunan Tiong Hoa bercerita, bahwa rizki yang
kita dapatan bukan dari apa yang kita usahan namun dari yang kita sedekahkan,
akupun mulai rajin bersedekah, alhmadulillah dahsyat! Rizki mulai mengalir,
banyak ide dan masukan dari teman dan saudara, mereka menyarankan untuk menambah
jenis beras yang kujual, dari hanya beras putih saja, kini diambah beras merah
yang lagi banyak dicari karena manfaatnya, kemudian beras ketan hitam dan
putih, dengan fariasi harga tentunya, sehingga aku dapat memperoleh keuntungan
yang lebih.
Sudah
puas? Tentu saja tidak!
Harga
beras di pasaran sering tidak stabil, makanya keuntunganpun ikut naik turun,
hal tersebut dipengaruhi kenaikan BBM atau panen yang gagal, namun aku tak
gentar, tetap menjual beras dengan harga yang terjangkau, sehingga semua orang
bisa membelinya, pelanggan semakin bertambah, namun keuntungan masih
datar-datar saja, sedangkan kebutuhan hidup semakin merangkak, anak-anak pun
mulai meminta ini itu karena tuntutan dari kebutuhannya di pesantren dan di
sekolah. Apalagi menjelang pergantian tahun ajaran baru yang bertepatan dengan
bulan suci ramadhan dan lebaran tahun ini, semua sangat menyita pikiranku, akupun
harus IQRA! Membaca situasi dan kondisi di sekitarku, apa yang banyak dibutuhkan
di waktu ramadhan dan tahun ajaran baru serta lebaran?, aha! Ting ting ting!
Ide baru muncul setelah aku buka grup IIDB dan kulihat apa yang ditawarkan
anggota di grup, sebagian dari mereka membuat aku tetarik untuk segera memesan
barang dagangannya kemudin aku jual lagi di kotaku.
Akupun mulai menjual barang lain
disamping beras, warungku kutambah dengan kebutuhan pokok lainnya seperti gula
merah, gula putih, mentega, telur, tepung terigu dan tepung kanji, di bulan
ramadhan orang-orang banyak yang membutuhkan bahan-bahan untuk membuat kue.
Gudangku pun dipenuhi oleh sejadah, mukena, baju, sarung, dan kebutuhan sandang
untuk idul fitri lainnya, ditambah dengan produk lain yang lagi ‘trend’ yaitu
Hanger Jilbab Organiser, Hanger Shoes Organiser, Hanger Bag Organiser, serta
barang-barang elektronik dan barang kebutuhan rumah tangga lainnya untuk di
kreditkan, dan lain sebagainya.
Hampir
semua barang yang kujual kupesan secara on line, dari beras sampai hanger,
hanya sesekali saja aku keluar rumah untuk mencari barang yang dipesan pembeli
namun tidak ada di teman-teman IIDB, untuk pemasaran aku dibantu beberapa teman
dan saudara, karena tidak mungkin untuk keluar rumah setiap hari, waktu sangat
sempit terasa, karena harus membagi waktu untuk keluarga, bisnis dan menulis,
dengan catatan aku harus mengontrol terus barang dan uang yang keluar masuk,
membuat pembukuan untuk setiap barang, dan meretur barang yang tidak laku dan menggantinya
dengan barang pesanan pembeli, sehingga modal tidak terlalu banyak dikeluarkan.
Alhamdulillah semua berjalan lancar, hasilnya pun lumayan, cukup untuk
membelikan anak-anak baju lebaran dan membayar biaya sekolah mereka.
Sekarang,
sudah cukup puaskah?
Jawabannya
belum! Seorang teman menasihati, “Ubah mind-set
mu tentang bisnis!” maksudnya, aku harus mengubah mind-set ku tentang bisnis, aku tidak boleh puas dan berhenti
sampai disini, dulu aku hanya berpikir, biarlah keuntunganya hanya cukup untuk
makan sehari-hari, tapi temanku bilang, kita harus bepikir bahwa keuntungan itu
harus bisa menambah modal usaha, membayar utang, membeli rumah, menyekolahkan
anak sampai perguruan tinggi, membeli kendaran roda dua atau empat, membeli
sawah, membuka usaha baru yang bisa membuka lapangan kerja baru, dan sebagainya!
Ya! Aku setuju dengan perkataan
teman, aku harus terus berpikir panjang dan berusaha semaksimal mungkin, anak-anak
masih kecil, mereka butuh biaya tak sedikit untuk kebutuhan sehari-hari dan
sekolahnya, dan tidak mungkin menggantungkan nasib dari belas kasih orang lain
saja, aku harus membangun perekonomian keluarga untuk jangka panjang, biarlah
orang lain mengatakan kalau impianku terlalu muluk, namun dengan harap dan
cemas memohon kepada Allah Azza Wajalla untuk mengabulkannya. Impianku ke
depan, aku harus punya lima usaha yang mudah-mudahan bisa membantu orang lain
memiliki penghasilan, dan lima usaha ini harus diteruskan oleh lima anakku, jualan
beras yang hanya skala kecil mudah-mudahan ke depannya menjadi skala besar atau
grosir, membuka toko pakaian jadi, memiliki sawah yang hasilnya bisa memenuhi kebutuhan
beras di toko, memiliki konveksi pakaian, dan toko kelontong, mumpung bermimpi
masih gratis!.
Namun tak mungkin aku memaksakan
impianku pada anak-anak dan mengacaukan
cita-cita mereka yang masih kecil-kecil, aku pun suka iseng bertanya tentang
cita-cita mereka kelak jika mereka dewasa. Di waktu senggang kami semua
berkumpul dan berbagi cerita, si sulung bercerita kalau dia ingin menjadi dosen
dan juga pebisnis, bakat bisnisnya sudah kelihatan, dia sering jualan makanan
di asrama di pesantrennya, untunglah para ustadz sangat mendukungnya. Anak
kedua sejak kecil cita-citanya tak pernah berubah, sejak di Taman Kanak-kanak,
cita-citanya hanya satu, jadi anggota TNI AU, engga ada yang lain, akupun tidak
bisa menghalangi keinginan besarnya walaupun aku tahu, jantungnya sedikit
bermasalah, mudah-mudahan Allah menyehatkan jantungnya jika ia besar kelak, si
Teteh, gadis kecilku satu-satunya, ingin jadi penulis dan ahli perbankan,
syukurlah, dia memang pandai berhitung, dan rajin menulis di buku hariannya walaupun
belum teratur, sedangkan duo unyu
belum bisa menjawab apa-apa jika kutanya, mereka belum mengerti pertanyaanku,
maklum keduanya masih batita.
Setiap saat kulihat daganganku,
semangatku melonjak-lonjak, ingat impianku dan juga cita-cita anak-anak, naluri
bisnsiku semakin membumbung tinggi, berakar dan beranak pinak, menjalar
kemana-mana, setiap hal ternyata bisa jadi lahan bisnis, asal kita mau dan ada
kesempatan, namun bagi manusia pastilah sulit untuk mewujudkan impian atau
cita-cita tersebut, namun bagi Allah semuanya pastilah mudah, asalkan berusaha
semaksimal mungkin dan berdo’a yang rajin, kalau Allah berkehendak semua hanya
dengan satu ucapan “Qun Fa yaqun!” ( Jadi! Maka jadilah ). Ayo Semangatttt!!!
Mudah-mudahn
Allah memudahkan jalanku dalam membimbing, membiayai dan mendidik lima yatimku!
Untuk janjiku pada almarhum suamiku,
Inshaa Allah aku pasti bisa, tentunya
dengan bimbingan Allah SWT, aammin!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar