Daftar Isi

Sabtu, 28 September 2013

Latihan Nulis


Sang Motivator
Oleh : Aisha Khairunnisa
      Sang motivator, saya memberi julukan kepada  Abah, dia adalah ayah kandungku, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, namun badannya masih kuat, giginya masih utuh, rambutnya sudah putih semua, walaupun tulang punggungnya sedikit bengkok, bukan bungkuk ke depan sebagaimana layaknya seorang kakek, namun bengkok ke sebelah kiri, karena pekerjaannya sebagai tukang pangkas rambut ( kurang lebih sudah lima puluh enam tahun ) menjalani profesinya sehingga tulang punggung bengkok ke sebelah kiri, dan harus terus berdiri! ( Mana ada seorang tukang pangkas rambut bekerja sambil duduk, hehehe!)
       Namun teman-teman sekolahku dan juga teman-teman kuliahku dulu engga ada yang percaya kalau beliau hanya seorang tukang pangkas rambut, dilihat dari penampilan dan wajahnya yang tidak meyakinkan sebagai tukang pangkas rambut mungkin!, beliau suka mengenakan baju batik atau berjas ketika menghadiri acara di sekolah atau acara wisuda putri-putri beliau, hmmmm… Abahku termasuk ganteng juga, apalagi waktu mudanya, pantesan Emakku kesengsem berat, dan selalu setia menemani beliau, sampai akhir hayatnya, padahal kalau dilihat dari penghasilan sebagai seorang pangkas rambut, berapa sih? Kalau lagi banyak pasien sihh oke ya.., jika setiap orang dikenai tarif lima ribu rupiah saja,dan yang datang sepuluh orang saja bisa dapat lima puluh ribu sehari, namun jika tak ada seorang pun yang datang? Mashaa Allah !bagaimana Abah menghidupi kami sekeluarga?, namun Abah orangnya tidak pernah putus asa, beliau selalu berpikir positif dan percaya diri serta yakin kalau Allah akan selalu menolong seorang hamba apabila hambaNya meminta kepadaNya.
       Bayangkan saja, dari hasil jerih payahnya sebagai tukang pangkas rambut, beliau bisa menyekolahkan sembilan putrinya ke jenjang pendidikan yang tinggi, padahal beliau hanya lulusan SR ( sekarang SD ), kami semua minimal lulus SMA bahkan ada yang sarjana.Berkat kegigihannya, Abah dan juga kesetiaan Emak serta bantuan Emak dalam mengatur keuangan keluarga, beliau berdua mampu menyekolahkan kami sampai setinggi itu, saya sendiri terkadang masih ragu dalam menghidupi dan mendidik anak-anak, padahal saya sudah tiga kali duduk di bangku kuliah ( walaupun yang sampai wisuda hanya satu hehehe…), dan semuanya jurusan pendidikan, dan usia anak-anak masih di bawah umur semua, serta penghasilan suami di atas penghasilan Abah tentunya,namun masalah pendidikan dan pengaturan keuangan kami kalah telak oleh beliau, beliau selalu setia setiap tahun untuk berkurban, saya malah belum pernah, padahal saya punya beberapa rumah dan kendaraan sedangkan Abah hanya mempunyai satu rumah saja dan tidak memiliki kendaraan. Beliau mendidik kami dengan penuh kasih sayang dan belum pernah sesaatpun beliau membentak saya, tapi saya malah tidak sabaran mendidik anak-anak, dan membentak mereka sudah jadimakanan tiap hari, alamakkkk…..malu tuh sama gelar pendidikannya!
       Rasa putus asa pernah menyergap saya ketika saya menikah di tahun 1998, saat itu Indonesa sedang dianda krisis ekonomi yang begitu mengguncang, banyak perusahaan guung tikar, tapi saya malah melakukan pernikahan, banyak orang yang mencibir, karena harga-harga waktu itu melambung tinggi, karena nilaitukar rupiah terhadap dolar Amerikayang jatuh sejatuh-jatuhnya, dari 2400/2500 rupiah per dolar menjadi 9000 sampai 10.000 rupiah per dollar, otomatis semua harga sembako yang dibutuhkan untuk acara pernikahan saya jadi meroket, tapi saya lihat Abah tenang saja, banyak orang yang pusing dengan krisis ekonomi ini, namun Abah dan juga Emak tentunya (kala itu beliau masih ada) terlihat santai, mereka begitu yakin dengan pertolongan Allah, karena kata mereka niat saya untuk menikah adalah niat yang baik, pernikahan adalah sesuatu yang sangat dianjurkan bahkan sunnah Rasul, walau dalam kondisi ekonomi morat-marit sekalipun, apalagi jodoh sudah ada di depan pintu, lalu tunggu  apalagi?. Dan Alhamdulillah, acara pesta sederhana yang kami gelar berjalan mulus, dan Subhan Allah tidak ada makanan yang bersisa atau terbuang sedikitpun, kami pun merasa lega.

       Namun rasaputus asa itu hinggp lagi di tahun 1999, ketika saya akan meahirkan anak pertama, perusahaan tempat suami bekerja mengadakan PHK besar-besaran, saya gelisah, saya takut suami terkena PHK juga, namun Abah selalu membesarkan hatiku dengan nasihatnya,
Tenang wee… atuh, pan aya Ash-Shomad” katanya suatu hari, ketika beliau melihat saya gelisah dan mondar-mandir di ruang tamu, “ Naon Ash-Shomad teh?” saya tak mengerti,”Yey, kumaha maneh teh, pan ti pesantren maenya teu apal ash-shomad?’ Abah menatapku heran, “ Ash-Shomadteh nama Allah artinya tempat semua makhluk bergantung dan menyandarkan harapannya” Abah menjelaskan dengan detail, gubrakkk…!!bener-bener santri baong saya, maluuuu pisan, abah yang hanya lulusan SD  (Sssstttt ini rahasia..!beliau bisa baca Qur’an setelah menikah dengan emak saya tercinta lhoo…!!) dan tidak pernah nyantri tahu arti Ash-Shomad, saya yang lulusan PT en pernah nyantri lima tahun pula, engga tahu apa artinya,
“Ohh ya, Bah,nuhun pisan!’ jawab saya kikuk, mau ditaroh dimana muka ini?
Sok geura tiap hari, tiap malam, baca asmaul husna, sambil ngasuh atau sambil tiduran juga engga apa-apa atuh!” sambungnya, saya hanya mengangguk,
memang saya lihat tiap hari kalau tidak ada ‘pasien’ Abah sering asyik dengan alat hitung yang dipijit bukan dengan tasbih ( karena setiap punya tasbih talinya selalu diputusin anak-anak saya hehehe…)untuk berdzikir atau membaca asmaul husna, saya yang lulusan pesantren mana sempet berdzikir, selalu saja ada alasan untuk melupakan dzikir, lupalah, sibuklah, anak-anak rewellah, tapi kalau ngerumpi selaluuu…saja ada waktu, aneh ya!
      Entah berapa kali saya mengeluh tapi Abah yang baik hati tidak pernah bosan dengan keluhannku, seperti ketika saya butuh uang buat keperluan kuliah ataupun kebutuhan yang lainnya, beliau dengan tangan terbuka selalu membantu, begitu juga dengan saudari-saudariku, merasakan hal yang sama dengan saya, Abah memperlakukan sembilan putrinya dengan adil, harusnya kami malu yaaa, sudah disekolahintingi-tinggi kok masih ngeluh? Harusnya kami yang selalu memberi tolong pada orangtua, ini malah sebaliknya, namun suatu hari beliau pernah berkata, waktu itu acara kumpul keluarga ketika lebaran
“Abah mah moalminta apa-apa sama semua anak Abah, yang Abah harapkan hanya satu, tolong do’akan Abah supaya dimaafkan dosa-dosa Abah sama Allah, itu saja, titik!’
Kenapa?Hanya itu? Sepertinya simpel tapi ternyata berat, bagiku terkadang suami dan anak-anak lebih penting dari ayah kandungku sendiri, orang lain yang bukan siapa-siapasaya, lebih saya perhatikan dan do’akan daripada Abah, Mashaa Allah, ampuni kami Yaa..Robb!!, ternyata Abah punya satu keyakinan berdasarkan hadits sohih yang pernah beliau baca, andaikan seseorang mempunyai tiga orang anak yang soleh, maka orangtuanya akan terhindar dari neraka, apalagi kalau semua, terutama sembilan putri Abah bila semuanya soleh-soleh dan selalu mendo’akan beliau, Inshaa Allah Abah akan masuk syurga, Subhan Allah permintaan yang sangat sederhana namun sungguh berat untuk direalisasikan.
       Sampai saat ini, setelah mempunyai lima anak dan berstatus single parent, Abah masih menyokongku setiap hari entah itu dengan makanan, atau membelikan gasdan air galon, jajan anak-anak Abah yang bayar, kalau engga punya uang buat beli beras Abah kasih pinjam uangnya, dan sampai sekarang Abah masih semangat bekerja, mencari sesuap nasi yang halal, walaupun pelanggannya sudah banyak yang meninggal, dan otomatis seiring dengan pesaingan yang semakin ketat, banyak pelanggan muda yang berpaling ke salon lain yang lebih modern pelayanannya, namun Abah tak bergeming dan tak pernah mengeluh, ketika tidak ada ‘pasien’ datang beliau duduk di kursi sambil berdzikir, bacar Koran PR, koran langgananya sejak saya masih SD, mendengarkan tilawah Qur’an dari handphonenya, atau mendengarkan radio Mora, stasiun radio kesayangannya, Abah begitu santai, tenang dan damai menghadapi kehidupan yang semakin carut marut ini.
       Pun ketika saya diuji Allah dengan meninggalnya suami, Abahlah yang meneguhkan hati saya, menguatkan iman saya untuk selalu ingat Allah lewat do’a dan sholat, Abahlah yang mendukung saya untuk terus berusaha dan berkarya, memberikan saya dukungan untuk menulis, memberikan saya bantuan secara materi dan immateri, walaupun saya sering menolak pemberiannya, namun beliau keukeuh alasannya untuk lima anak yatim saya, terkadang saya engga habis pikir, darimana Abah mendapat uang-uang itu, kalau dilihat secarahitungn manusia, penghasilannya yang tidak menentu, namun Abah selalu bilang, “ Rizki mah dari Allah, kita hanya berusaha…”, dan ketika saya putus asa dengan hilangnya pelanggan saya atau usaha sayasedang sepi terutama ketika datang ‘raskin’, ( (saya jualan beras di rumah),atau ketika uang kreditan pada macet di mana-mana, Abah selalu hadir untuk membesarkan hati dan meneguhkan harapan saya,
 “Tetaplah sedekah, berdo’alah, karena bagi Allah segalanya mudah” itulah nasihatnya yang tak bosan-bosan beliau ucapkan kepada putri ketujuhnya ini, dan alhamdulillah setelah mengkuti semuanasihatnya, rizki saya dan anak-anak selalu datang dari tempat yang tak diduga sama sekali, dari orang yang tidak disangka, bahkan dari orang-orang yang benar-benar saya tidak kenal, selalu saja ada jalan rizki untuk lima yatimku, Alhamdulillah, Subhanallah!
       Setiap selesai sholat, orang yng pertama saya sebut dalam do’a adalah Abah dan Emak, kemudian suami tercinta dan anak-anak, barulah yang lainnya, bagi saya kehadiran Abah sekarang di rumahku bagaikan setitik cahaya di kegelapan malam yang gelita, perhatian dan nasihatnya seperti setetes embun pagi yang memberikan kesejukan pada jiwa saya yang kerontang.
“Ya…Allah tempatkan abahku di syurgamu kelak, mudahkan segala urusannya, lapangkan rizkinya, selamatkan dia di dunia dan akhirant, aammiinn!!”
“ I love you Daddy, you are my hero, you are always in my dream, I will never stop trying to be your lover daughter!, I promise! “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar