Sang Motivator
Oleh : Aisha Khairunnisa
Sang motivator,
saya memberi julukan kepada Abah, dia
adalah ayah kandungku, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, namun badannya
masih kuat, giginya masih utuh, rambutnya sudah putih semua, walaupun tulang
punggungnya sedikit bengkok, bukan bungkuk ke depan sebagaimana layaknya
seorang kakek, namun bengkok ke sebelah kiri, karena pekerjaannya sebagai
tukang pangkas rambut ( kurang lebih sudah lima puluh enam tahun ) menjalani
profesinya sehingga tulang punggung bengkok ke sebelah kiri, dan harus terus
berdiri! ( Mana ada seorang tukang pangkas rambut bekerja sambil duduk, hehehe!)
Namun teman-teman sekolahku dan juga
teman-teman kuliahku dulu engga ada yang percaya kalau beliau hanya seorang
tukang pangkas rambut, dilihat dari penampilan dan wajahnya yang tidak
meyakinkan sebagai tukang pangkas rambut mungkin!, beliau suka mengenakan baju
batik atau berjas ketika menghadiri acara di sekolah atau acara wisuda
putri-putri beliau, hmmmm… Abahku termasuk ganteng juga, apalagi waktu mudanya,
pantesan Emakku kesengsem berat, dan selalu setia menemani beliau, sampai akhir
hayatnya, padahal kalau dilihat dari penghasilan sebagai seorang pangkas
rambut, berapa sih? Kalau lagi banyak ‘pasien’ sihh oke ya.., jika setiap orang
dikenai tarif lima ribu rupiah saja,dan yang datang sepuluh orang saja bisa dapat
lima puluh ribu sehari, namun jika tak ada seorang pun yang datang? Mashaa Allah
!bagaimana Abah menghidupi kami sekeluarga?, namun Abah orangnya tidak pernah
putus asa, beliau selalu berpikir positif dan percaya diri serta yakin kalau Allah
akan selalu menolong seorang hamba apabila hambaNya meminta kepadaNya.
Bayangkan saja, dari hasil jerih payahnya
sebagai tukang pangkas rambut, beliau bisa menyekolahkan sembilan putrinya ke
jenjang pendidikan yang tinggi, padahal beliau hanya lulusan SR ( sekarang SD
), kami semua minimal lulus SMA bahkan ada yang sarjana.Berkat kegigihannya,
Abah dan juga kesetiaan Emak serta bantuan Emak dalam mengatur keuangan
keluarga, beliau berdua mampu menyekolahkan kami sampai setinggi itu, saya
sendiri terkadang masih ragu dalam menghidupi dan mendidik anak-anak, padahal
saya sudah tiga kali duduk di bangku kuliah ( walaupun yang sampai wisuda hanya
satu hehehe…), dan semuanya jurusan pendidikan, dan usia anak-anak masih di
bawah umur semua, serta penghasilan suami di atas penghasilan Abah
tentunya,namun masalah pendidikan dan pengaturan keuangan kami kalah telak oleh
beliau, beliau selalu setia setiap tahun untuk berkurban, saya malah belum pernah,
padahal saya punya beberapa rumah dan kendaraan sedangkan Abah hanya mempunyai
satu rumah saja dan tidak memiliki kendaraan. Beliau mendidik kami dengan penuh
kasih sayang dan belum pernah sesaatpun beliau membentak saya, tapi saya malah
tidak sabaran mendidik anak-anak, dan membentak mereka sudah jadimakanan tiap hari, alamakkkk…..malu tuh
sama gelar pendidikannya!
Rasa putus asa pernah menyergap saya
ketika saya menikah di tahun 1998, saat itu Indonesa sedang dianda krisis
ekonomi yang begitu mengguncang, banyak perusahaan guung tikar, tapi saya malah
melakukan pernikahan, banyak orang yang mencibir, karena harga-harga waktu itu
melambung tinggi, karena nilaitukar rupiah terhadap dolar Amerikayang jatuh
sejatuh-jatuhnya, dari 2400/2500 rupiah per dolar menjadi 9000 sampai 10.000
rupiah per dollar, otomatis semua harga sembako yang dibutuhkan untuk acara pernikahan
saya jadi meroket, tapi saya lihat Abah tenang saja, banyak orang yang pusing
dengan krisis ekonomi ini, namun Abah dan juga Emak tentunya (kala itu beliau
masih ada) terlihat santai, mereka begitu yakin dengan pertolongan Allah,
karena kata mereka niat saya untuk menikah adalah niat yang baik, pernikahan
adalah sesuatu yang sangat dianjurkan bahkan sunnah Rasul, walau dalam kondisi
ekonomi morat-marit sekalipun, apalagi jodoh sudah ada di depan pintu, lalu
tunggu apalagi?. Dan Alhamdulillah,
acara pesta sederhana yang kami gelar berjalan mulus, dan Subhan Allah tidak
ada makanan yang bersisa atau terbuang sedikitpun, kami pun merasa lega.
Namun rasaputus asa itu hinggp lagi di
tahun 1999, ketika saya akan meahirkan anak pertama, perusahaan tempat suami
bekerja mengadakan PHK besar-besaran, saya gelisah, saya takut suami terkena
PHK juga, namun Abah selalu membesarkan hatiku dengan nasihatnya,
“Tenang wee… atuh, pan aya Ash-Shomad”
katanya suatu hari, ketika beliau melihat saya gelisah dan mondar-mandir di
ruang tamu, “ Naon Ash-Shomad teh?”
saya tak mengerti,”Yey, kumaha maneh teh,
pan ti pesantren maenya teu apal ash-shomad?’ Abah menatapku heran, “ Ash-Shomadteh nama Allah artinya tempat
semua makhluk bergantung dan menyandarkan harapannya” Abah menjelaskan dengan
detail, gubrakkk…!!bener-bener santri baong
saya, maluuuu pisan, abah yang hanya
lulusan SD (Sssstttt ini
rahasia..!beliau bisa baca Qur’an setelah menikah dengan emak saya tercinta
lhoo…!!) dan tidak pernah nyantri tahu arti Ash-Shomad,
saya yang lulusan PT en pernah nyantri
lima tahun pula, engga tahu apa artinya,
“Ohh
ya, Bah,nuhun pisan!’ jawab saya
kikuk, mau ditaroh dimana muka ini?
“
Sok geura tiap hari, tiap malam, baca
asmaul husna, sambil ngasuh atau
sambil tiduran juga engga apa-apa atuh!” sambungnya, saya hanya mengangguk,
memang
saya lihat tiap hari kalau tidak ada ‘pasien’ Abah sering asyik dengan alat
hitung yang dipijit bukan dengan tasbih ( karena setiap punya tasbih talinya selalu
diputusin anak-anak saya hehehe…)untuk berdzikir atau membaca asmaul husna, saya yang lulusan
pesantren mana sempet berdzikir, selalu saja ada alasan untuk melupakan dzikir,
lupalah, sibuklah, anak-anak rewellah, tapi kalau ngerumpi selaluuu…saja ada
waktu, aneh ya!
Entah berapa kali saya mengeluh tapi Abah
yang baik hati tidak pernah bosan dengan keluhannku, seperti ketika saya butuh
uang buat keperluan kuliah ataupun kebutuhan yang lainnya, beliau dengan tangan
terbuka selalu membantu, begitu juga dengan saudari-saudariku, merasakan hal
yang sama dengan saya, Abah memperlakukan sembilan putrinya dengan adil, harusnya
kami malu yaaa, sudah disekolahintingi-tinggi
kok masih ngeluh? Harusnya kami yang selalu memberi tolong pada orangtua, ini
malah sebaliknya, namun suatu hari beliau pernah berkata, waktu itu acara
kumpul keluarga ketika lebaran
“Abah
mah moalminta apa-apa sama semua anak
Abah, yang Abah harapkan hanya satu, tolong do’akan Abah supaya dimaafkan
dosa-dosa Abah sama Allah, itu saja, titik!’
Kenapa?Hanya
itu? Sepertinya simpel tapi ternyata berat, bagiku terkadang suami dan
anak-anak lebih penting dari ayah kandungku sendiri, orang lain yang bukan
siapa-siapasaya, lebih saya perhatikan dan do’akan daripada Abah, Mashaa Allah, ampuni kami Yaa..Robb!!, ternyata Abah punya satu
keyakinan berdasarkan hadits sohih yang pernah beliau baca, andaikan seseorang
mempunyai tiga orang anak yang soleh, maka orangtuanya akan terhindar dari
neraka, apalagi kalau semua, terutama sembilan putri Abah bila semuanya
soleh-soleh dan selalu mendo’akan beliau, Inshaa Allah Abah akan masuk syurga, Subhan Allah permintaan yang sangat
sederhana namun sungguh berat untuk direalisasikan.
Sampai saat ini, setelah mempunyai lima
anak dan berstatus single parent, Abah
masih menyokongku setiap hari entah itu dengan makanan, atau membelikan gasdan
air galon, jajan anak-anak Abah yang bayar, kalau engga punya uang buat beli
beras Abah kasih pinjam uangnya, dan sampai sekarang Abah masih semangat
bekerja, mencari sesuap nasi yang halal, walaupun pelanggannya sudah banyak
yang meninggal, dan otomatis seiring dengan pesaingan yang semakin ketat,
banyak pelanggan muda yang berpaling ke salon lain yang lebih modern
pelayanannya, namun Abah tak bergeming dan tak pernah mengeluh, ketika tidak
ada ‘pasien’ datang beliau duduk di kursi sambil berdzikir, bacar Koran PR, koran
langgananya sejak saya masih SD, mendengarkan tilawah Qur’an dari handphonenya, atau mendengarkan radio
Mora, stasiun radio kesayangannya, Abah begitu santai, tenang dan damai
menghadapi kehidupan yang semakin carut marut ini.
Pun ketika saya diuji Allah dengan
meninggalnya suami, Abahlah yang meneguhkan hati saya, menguatkan iman saya
untuk selalu ingat Allah lewat do’a dan sholat, Abahlah yang mendukung saya
untuk terus berusaha dan berkarya, memberikan saya dukungan untuk menulis,
memberikan saya bantuan secara materi dan immateri, walaupun saya sering
menolak pemberiannya, namun beliau keukeuh
alasannya untuk lima anak yatim saya, terkadang saya engga habis pikir,
darimana Abah mendapat uang-uang itu, kalau dilihat secarahitungn manusia,
penghasilannya yang tidak menentu, namun Abah selalu bilang, “ Rizki mah dari Allah, kita hanya berusaha…”,
dan ketika saya putus asa dengan hilangnya pelanggan saya atau usaha sayasedang
sepi terutama ketika datang ‘raskin’, ( (saya jualan beras di rumah),atau
ketika uang kreditan pada macet di mana-mana, Abah selalu hadir untuk membesarkan
hati dan meneguhkan harapan saya,
“Tetaplah sedekah, berdo’alah, karena bagi
Allah segalanya mudah” itulah nasihatnya yang tak bosan-bosan beliau ucapkan
kepada putri ketujuhnya ini, dan alhamdulillah setelah mengkuti semuanasihatnya,
rizki saya dan anak-anak selalu datang dari tempat yang tak diduga sama sekali,
dari orang yang tidak disangka, bahkan dari orang-orang yang benar-benar saya
tidak kenal, selalu saja ada jalan rizki untuk lima yatimku, Alhamdulillah, Subhanallah!
Setiap selesai sholat, orang yng pertama
saya sebut dalam do’a adalah Abah dan Emak, kemudian suami tercinta dan
anak-anak, barulah yang lainnya, bagi saya kehadiran Abah sekarang di rumahku
bagaikan setitik cahaya di kegelapan malam yang gelita, perhatian dan
nasihatnya seperti setetes embun pagi yang memberikan kesejukan pada jiwa saya yang
kerontang.
“Ya…Allah tempatkan
abahku di syurgamu kelak, mudahkan segala urusannya, lapangkan rizkinya, selamatkan
dia di dunia dan akhirant, aammiinn!!”
“
I love you Daddy, you are my hero, you are always in my dream, I will never
stop trying to be your lover daughter!, I promise! “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar