Februari 2014 is coming,
Ada
dua kenangan di bulan februari yang tidak akan saya lupakan sepanjang hidup,
yaitu februari tahun 1998 dan februari tahun 2012.
Di
bulan februari 1998, adalah februari yang sangat membuatku bahagia, walaupun kendala
banyak menghadang saya dan calon suami waktu itu.
Seorang
pria yang sangat saya cintai meminangku dan menikahiku di bulan februari
1998, dengan perhelatan yang sangat sederhana, kami menunaikan sunnah Rasulullah untuk membina rumah
tangga dan berjanji untuk sehidup semati.
Kamipun
mengisi hari-hari bersama dalam sebuah keluarga, janji kami untuk saling menjaga
dan menyayangi kami tunaikan sebaik-baiknya, seiring waktupun kami dikaruniai
lima buah hati yang sehat-sehat dan lucu. Kami bahagia sekali.
Apalagi
ditambah rizki lain yang berupa materi, mendapat rumah, kendaraan dan sedikit
sawah. Kami mensyukuri semua rizki yang kami dapatkan selama ini, dengan selalu
menyisihkan sedikit harta untuk zakat, infak dan sedekah.
Namun,
selalu saja ada ujian yang menimpa kami selama perjalanan biduk rumah tangga
kami, dari mulai riak-riak kecil, sampai badai gelombang yang menghantam dan
hampir membuat biduk kami karam, tapi Allah Maha Mendengar do’a dan jeritan hati
kami untuk menyelamatkan kami dari segala bala dan musibah.
Allah
tak menguji ummatNya jika ummatNya tak sanggup mengahadapinya, setiap ujian itu
disesuaikan dengan kemampuan setiap hamba yang beriman kepadaNya.
Ujian
bagi kami adalah dengan sakitnya suami, selama tiga tahun. Kami berusaha
semaksimal mungkin untuk mengobati suami, alhamdulillah sembuh, namun kemudian
diuji lagi dengan sakit yang sama, sembuh lagi, dan akhirnya kambuh untuk
ketiga kalinya.
Terkadang
suami nampak putus asa, namun saya berusaha untuk meyakinkannya kalau dia akan
sembuh seperti semula. Kami berusaha terus berobat dan berdo’a bersama.
Tapi
Tuhan berkehendak lain, di bulan februari 2012, suami jatuh sakit lebih
parah, dia tidak bisa tidur selama dua minggu, dan bicaranya sudah ngawur, karena pengaruh tidak tidur
tersebut.
Suami
menasihati dan mewasiatkanku segala hal, termasuk memberiku ijin untuk menikah
lagi, dengan syarat suami yang baru haruslah pria yang sholeh yang berhati
santun dan berniat menikahiku karena Allah.
Saya
hanya menangis saja mendengar semua pembicaraannya, saya hanya menganggapnya
sebagai sebuah igauan, sampai saya sadar setelah suami tidak ada, bahwa semua
igauannya adalah amanat yang berat untuk saya tunaikan.
Semoga
di Februari 2014 ini, saya mendapatkan kembali kebahagiaan yang hilang,
aamminn!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar